Share/Bookmark

Membaca Kaum Urban

No comment yet
Judul ini saya serap dari salah satu artikel yang dimuat di Kompas, Oktober lalu. Bercerita tentang sosok Dhyani Widiyanti Hendrato dan kefasihannya berbicara tentang manusia urban, khususnya perempuan.
Kata urban yang dipakai begitu menggelitik. Entah apa yang dimaksudnya dengan kata tersebut. “Apakah sebagai perempuan urban saya harus merokok? Apakah saya harus pakai  barang bermerek agar diakui di lingkungan pergaulan?” katanya seperti yang dikutip dari artikel tersebut. Nyatanya wanita urban bukan seperti yang banyak didefinisikan oleh para kaum yg telah terggelam dalam definisi urban yang meyesatkan.
Dhyani, meneruskan Penelitian Penciptaan seni di Program S3-nya berjudul Reflections of the Cultural Values of Urban Javanese Woman in the Expression of Contemporary Jewelry Art on Improvisational Dance. Wajar saja jika dalam artikel kali ini, ia banyak membahas tentang kaum urban dan simbol-simbol yang melekat diantaranya. Ia pun tak enggan menyatakan pendapat pribadinya mengenai jawaban urban sebenarnya : perempuan urban tidak harus seperti itu. Dia bisa tampil nyaman dengan identitas pribadinya. Urusan bagus atau tidak itu urusan belakangan.
Seperti halnya Dhyani yang tak melupakan kebudayaan yang membesarkannya, yaitu Jawa, saya juga adalah seorang gadis yang dibesarkan ditengah kebudayaan Kayuagung, Palembang, Sumatra. Tertanam nilai-nilai tradisional yang begitu high power.  Memiliki tanggungjawab menuntut ilmu di kota metropolitan. Berinteraksi dan berkompetisi dengan kebanyakan orang yang menyatakan diri mereka kaum urban. Saya pun adalah kakak untuk kedua adik perempuan saya yang saat ini masih meraba-raba masa depan. Tangan kanan dari Ayah saya, yang juga laki-laki paling saya cintai di dunia.
Dhyani, “Saya sulit membayangkan seperti apa kehidupan anak perempuan saya ketika ia besar di peradaban baru, dengan segala simbol barunya yang dimaknai dengan cara baru. Semuanya bergerak serba cepat dan selintas. Akhirnya kita harus mengidentifikasi diri sendiri, ada dijalur mana kita berada? Kita mau seperti apa? Apakah menjadi modern itu harus mengkonsumsi semua yang ada di mall?”
Lucu memang, tapi itulah kenyataanya. Dalam definisi antah brantah yang hingga kini masih dianut sebagian besar wanita metropolitan disemua usia. Dhyani, dan lagi-lagi saya sependapat dengannya, tak menolak benda-benda bermerek yang terlanjur dianggap sebagai simbol urban dan modern. Citra orang tidak melulu ditentukan oleh apa yang melekat ditubuh.
Satu steatment yang berhasil membuat saya jatuh lebih dalam pada pola pikir yang dimiliki wanita kelahiran 27 Desember ini. Steatment  yang saya katakan terkait kekaguman saya dari sisi ‘in’ seseorang, bukan dari kekayaan simbol semata. Melebarkan pikiran sempit kita tentang ketidakjelasan dimana kita berada pada masa modern kini. Kita kaya. Tiap-tiap orang memiliki pikiran, ide yang luar biasa. Kita tampil mempesona dengan apa adanya kita, dengan bunga pikiran yang luar biasa.
“Modern itu tidak dinilai berdasarkan apa yang kamu pakai, tetapi apa yang ada dalam diri kami, yakni cara kamu berpikir,”
Waktu berlalu membawa simbol urbanisme berubah. Tapi kekayaan pikiran tak dapat digantikkan. Semakin cepat menghasilkannya, itu semakin baik.

Posting Komentar

HOME | ABOUT

Copyright © 2011 iridescent of rhomi's life | Powered by BLOGGER | Template by 54BLOGGER